REVIEW BUKU MUSLIMAH FEMINIS (Penjelajahan Multi Identitas)
Nama : Shofianti
NIM :
11171110000043
Jurusan
: Sosiologi/3.B
Mata
Kuliah : Teori
Sosiologi Modern
Dosen
Pengampu : Dr. Neng Dara
Affiah, M. Si
Deskripsi Buku
Judul Buku : Muslimah
Feminis
Penulis :
Neng Dara Affiah
Penerbit :
Nalar Jakarta
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : Cetakan Pertama, 2009
Jumlah Halaman : 122 hal.
Saya
terhanyut ke dalam setiap untaian kata yang ditulis oleh Neng Dara Affiah.
Dalam bukunya yang berjudul ‘Muslimah
Feminis’, dia menceritakan perjalanan kehidupannya dalam memperjuangkan hak-hak
kaum perempuan yang masih dipandang sebelah mata oleh semua orang. Dia melihat
bahwa masyarakat di lingkungan sekitarnya masih didominasi oleh paham patriarki.
Dan dari sinilah hatinya mulai tergerak untuk memperjuangkan sekaligus
membebaskan kaum perempuan dari penindasan patriarki. Terutama dalam membuka
pandangan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan. Bahwa kaum perempuan pun
berhak untuk mendapatkan kesetaraan dalam berbagai aspek, baik itu aspek
sosial, pendidikan, pekerjaan, politik, dll. Merasa kalau budaya Patriarki
masih ada dan beigtu melekat pada lingkungannya, membuat Neng Dara terus
semangat berjuang dalam menumbuh kembangkan rasa feminisme yang ada di dalam
jiwanya. Ketika ia merasa ayahnya sendiri terlalu menganut budaya patriarki.
Dia semakin tergerak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Perjuangan demi
perjuangan tanpa patah semangat terus ia lakukan, jiwa mudanya yang membara
seakan tak pernah padam. Walau pada awalnya perjuangannya dipenuhi dengan
masa-masa yang sulit, pun pada akhirnya ia berhasil dan mampu menyampaikan
pemikiran serta pengetahuan feminisnya itu. Hingga akhirnya kini ia menjadi perempuan
yang begitu inspiratif, layaknya seorang tokoh terkenal seperti R.A. Kartini.
Dalam
buku ini Neng Dara Affiah menjelaskan ada empat identitas yang ada di dalam
dirinya, yaitu identitas etnis, gender, identitas agama dan identitas negara. Pada
bab pertama, tulisannya ia awali dengan memperkenalkan identitas etnisitasnya
sebagai seorang warga yang tumbuh dan lahir di Banten. Neng Dara lahir dan
tumbuh di Banten dengan islam yang begitu kental. Ia dikelilingi oleh
orang-orang yang menganut paham yang sama yaitu agama Islam. Neng Dara Affiah
adalah anak pasangan dari Ibu seorang guru agama dan Ayah pemimpin pesantren
sekaligus juga pemimpin masyarakat. Dalam tulisannya ia menjelaskan bahwa
Banten tidak hanya kental dengan Islam saja, melainkan juga kental dengan
hal-hal berbau politik serta tradisi keilmuan.
Pada bab
kedua, ia menuliskan tentang identitas agamanya. Sejak kecil, Neng Dara Affiah sudah
ditanami nilai-nilai dan dasar-dasar agama Islam oleh keluarganya. Ketika
berada di bangku SD, Neng Dara Affiah sudah terbiasa membaca buku cerita-cerita
rakyat dan buku cerita-cerita fiksi kontemporer. Karena kegemarannya inilah
membuat pemikiran Neng Dara Affiah yang pada saat itu masih berusia belia, bisa
dibilang pemikirannya sudah jauh lebih dewasa daripada kebanyakan teman-teman
seusianya. Ia juga sudah terbiasa dengan bacaan buku “berat” seperti Islam
Ahmadiyah, Islam Jamaah, dan juga Perdebatan Islam dan Kristen milik pamannya
yang berkuliah di IAIN Jakarta. Selain itu, ada majalah Panjimas yang
memuat karya-karya Alm. Cak Nur, Harun Nasution, dan Munawir Sadjali. Dari hasil
bacaanya tersebut membuat dirinya menjadi pribadi yang memiliki wawasan yang
luas, sehingga ia mulai membangun identitas keislamannya. Cara pandangnya
tentang Islam dan masalah-masalah sosial membawanya kepada paham teologi Wahabi.
Ia mulai tertarik dan sepakat dengan paham teologi Wahabi ketika usianya masih
sangat belia.
Setelah lulus dari sekolah
dasar, ia meneruskan sekolahnya ke pesantren alquran di Serang. Di samping ia
tinggal di pesantren, ia juga sekolah di luar pesantren yang berstatus sekolah
negeri, di lingkungan inilah Neng Dara Affiah mengenal suatu kelompok pengajian
“usroh”, dimana kelompok pengajian ini terkesan doktriner atau tidak ada
dialog dan gerakannya juga bisa dibilang sangat tertutup. Karena merasa
terkungkung dan selalu dihantui oleh perasaan takut dosa. Akhirnya ia
memutuskan untuk pindah ke pesantren di Tasikmalaya, sekolah formal berstatus negeri yang berada
di lingkungan pesantren. Di sana
ia mulai merasakan kesejukan hati seolah-olah Tuhan selalu ada di dalam
hatinya. Ia menyadari bahwa hidup harus dijalani dengan keihklasan dan lapang
dada, begitupun bahwa Allah memiliki skenario tersendiri terhadap
hamba-hambanya.
Setelah dari pesantren,
ia melanjutkan kuliahnya di IAIN Jakarta (kini dekenal dengan UIN Jakarta),
dengan jurusan Perbandinagn Agama. Neng Dara Affiah memilih organisasi HMI,
namun ia cenderung tidak aktif dalam organisasi ekstra kampus sehingga ia teralienasi
dari politik kampusnya tersebut. Neng Dara Affiah mulai berlatih mengelola
potensi diri dengan mengelola media kampus dan menulis apa yang ada di
pikirannya. Dia juga turut belajar di Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) dan
juga terlibat dengan berbagai diskusi LSM yang mengangkat isu-isu perempuan. Pemahaman
tentang keadilan gender kemudian dibawa pada aktivitasnya di media Warta NU
PBNU sebagai pengelola rubrik ‘Perempuan’. Fase ini dia mulai mensintesiskan
identitas kemuslimahannya dengan feminisme. Dalam komunitas ini dia melakukan
penjelajahan berbagai bidang ilmu pengetahuan, terutama Kajian Islam (Islamic
Studies), Filsafat dan Soiologi. Neng Dara Affiah juga mengetahui banyak
informasi buku-buku “kiri” yang pada saat itu dilarang beredar oleh pemerintah
Orde Baru, seperti buku Daz Kapital karangan Karl Marx. Ketika batinnya
terasa kering ia mengisinya dengan buku-buku spritulitas dan tasawuf.
Pada tahun 1993, Neng
Dara Affiah lulus dari IAIN Jakarta. Belajar Islam di lingkungan IAIN Ciputat
mengajarkannya tentang bagaimana nilai-nilai Islam berhadapan dengan
modernitas, terutama dalam kemajuan masyarkat dan nilai-nilai hak-hak asasi
manusia, demokrasi dan gender. Persentuhan Neng Dara Afifah dengan
agama-agama lain diawali ketika ia berkuliah di jurusan perbandingan agama.
Dari situ dia mulai menghayati bahwa setiap agama manapun mengajarkan kepada keindahan,
kebaikan serta kedamaian. Setelah lulus kuliah Neng Dara Affiah bersama
teman-temannya dari berbagai latar belakang agama berusaha merobohkan
sekat-sekat kelas sosial, ras, etnis, agama bahkan bangsa, tanpa meninggalkan
identitas yang mereka sandang sebagai sesuatu yang telah melekat sejak mereka lahir.
Karena Neng Dara Affiah mampu
serta dapat memahami perbedaan-perbedaan pada agama lain inilah, dalam
aktivitasnya ia berkesempatan berkunjung ke negara-negara lain, seperti negara
Finlandia. Ia diundang ke Filandia untuk suatu acara yang diselenggarakan oleh
organisasi perempuan Kristen dunia pada tahun 2000. Ia diminta untuk menjadi
narasumber mengenai gerakan perempuan muda dalam aktivitas lintas agama di
Indonesia. Pengalamannya bertemu dengan seorang laki-laki Finlandia di pesawat
membuat dirinya menyadari bahwa betapa buruknya Islam dimata sebagian orang
barat, yang cenderung mengidentikan perempuan Islam dengan mamakai cadar dan dipoligami.
Dari sini ia menyadari bahwa menjadi minoritas agama Islam di tengah-tengah
pemeluk mayoritas agama Kristen dengan prasangka-prasangka buruk terhadap Islam
sangatlah tidak nyaman. Oleh karena itu
Neng Dara Affiah menegaskan pada dirinya sendiri maupun kepada orang lain untuk
tidak melakukan prasangka-prasangka dan melakukan stereotip-stereotip tertentu
atas agama, ras, maupun bangsa. Dengan cara membuka mata dan hati dengan dialog
untuk saling mengenal, mendengar, mengetahui, dan memahami.
Pada tahun 2004 Neng
Dara Affiah diundanng ke Amerika untuk program “Ohio University Inter-Religious
Dialogue and Exchange Project”. Dalam program tersebut, dia berdiskusi mengenai
pluralism agama dengan para sarjana agama-agama tekemuka dari berbagai negara. Kunjungannya
ke Amerika membawakan pengalaman yang lain, ia merasakan adanya kesegaran serta
keharmonian dari keragaman agama dan kebebasan beragama yang terwujud di sana. Kemudian ia menghayati para pemeluk Islam yang
hidup di Amerika seperti Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam dari Pakistan, Sayyed
Hossein Nasr sebagai sarjana muslim yang memiliki pengaruh disana, dan Amina
Wadud Muhsin, seorang feminis Muslim Amerika yang berlatar belakang Afrika. Ia
semakin menyadari bahwa Islam memiliki banyak wajah dan ia beranggapan bahwa
Islam adalah tunggal, yakni kesaksian terhadap syahadat. Islam mengalami
perjumpaan dengan kultur dan situasi sosial yang berbeda-beda. Islam juga
mewarnai pola kebudayaan suatu bangsa, atau sebaliknya. Intinya, Islam bisa
berbeda-beda karena corak budaya yang khas yang dimiliki oleh setiap negara pun
berbeda.
Pada bab ketiga, Neng
Dara Affiah menuliskan tentang identitasnya sebagai perempuan. Dalam sudut pandang feminisme, sejak kecil ia telah
dididik untuk menjadi “perempuan”. Dimana ia dituntut untuk terampil dalam
pekerjaan rumah tangga, seperti membersihkan rumah dan memasak. Ia merasakan
adanya perbedaan perlakuan dari kedua orangtuanya antara dirinya dengan kakak
laki-lakinya. Sehingga ia merasakan adanya ketidakadilan dalam pembagian kerja
yang mengakibatkan adanya ketipangan gender. Identitas feminismenya juga sangat
dipengaruhi oleh neneknya sendiri yaitu Hj. Masyitoh. Neng Dara Affiah
terinspirasi dari neneknya yang sangat berpengaruh kuat bagi perjalanan
hidupnya dalam menegakan kesetaraan gender. Menurut neneknya, Hj. Masyitoh,
Islam adalah moralitas sehari-hari seperti kejujuran, keadilan dan kebaikan
pada sesama. Ia merupakan seorang guru yang penuh dedikasi. Waktu-waktu dalam
kesehariannya dihabiskan untuk mengajar. Kharisma yang terpancar dari neneknya
membuat murid-murid sangat menghormatinya. Di hadapan penguasa, seperti bupati
dan para pejabat daerah yang sering datang ke rumah Neng Dara Affiah, neneknya
tetap berdiri tegak dan tetap memperlihatkan sikap percaya diri. Ia otonom dan
independen di hadapan para pemuka agama laki-laki. Walaupun, neneknya tidak
mengenal kata “feminis”, namun didalam kehidupannya ia telah menunjukkan
nilai-nilai feminis seperti kemandirian dan kemerdekaan atas dirinya. Neng Dara
Affiah merasa jika neneknya ini adalah sosok perempuan yang pantas menyandang
sebutan “indegeunes feminist”, yakni feminis yang tumbuh dari masyarakat
lokal tanpa menyadari bahwa dirinya feminis.
Perjumpaan Neng Dara
Afifah dengan Feminisme berawal pada masa kuliahnya di IAIN Jakarta, dalam
Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI). Di forum inilah ia menjelajahi dan mendalami
disiplin ilmu pengetahuan, tak terkecuali feminisme. Pada saat itu ia mendiskusikan
buku karya Arif Budiman yang berjudul Pembagian Kerja Secara Seksual dimana ia
menyadari bahwa ada masalah ketidakadilan dengan perempuan di Indonesia
khususnya di lingkungannya sendiri. Dimana adanya pembagian kerja secara
seksual ini merupakan salah satu akar penindasan terhadap perempuan. Pembagian
kerja ini juga mengasumsikan bahwa pekerjaan utama perempuan adalah di rumah: mengelola
rumah tangga dan mengabdi pada keluarga. Sedangkan dunia publik adalah dunia
laki-laki sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Perjumpaannya dengan
wacana feminis ini membentuk kesadaran baru bahwa ada masalah ketidakadilan
dengan perempuan. Kesadaran tersebut membuatnya mempunyai energi besar untuk
mengubah dan mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat luas. Semangat
perubahan yang mengalir di darahnya itu ia bawa pada aktivitasnya sebagai
pengelola media milik organisasi besar Islam di Indonesia, yakni Warta NU PBNU
Jakarta (tahun 1992) sebagai pengelola rubrik ‘Wanita’.
Pada saat yang bersamaan
Neng Dara Affiah sering terlibat dengan
berbagai diskusi dengan LSM-LSM yang mengangkat isu-isu perempuan. Seperti
Organisasi Soildaritas Perempuan, sebuah organisasi perempuan yang saat itu
memfokuskan programnya pada persoalan buruh migran. Dari proses perjumaanya
dengan wacana feminisme dan keterlibatannya dengan LSM-LSM perempuan, ia
mencoba merefleksi diri dalam pusaran keluarga kiai. Menurutnya cara berfikir
tokoh-tokoh agama sangat lekat dengan kultur patriarki. Begitupun dengan
ayahnya, ia merasa bahwa ajarannya hanya semata-mata bertanggungjawab atas
nafkah keluarga dan melindunginya, sementara urusan mengelola rumah tangga dan
merawat anak-anak adalah tanggung jawab ibu. Berpuluh tahun lamanya pola hidup
yang demikian dipraktikan orangtuanya. Berawal dari kesadaran tenatng perlunya
keadilan antara suami dan istri, mengantarkan Neng Dara Affiah untuk berani
mengutarakan pendapatnya mengenai keinginan haknya dalam memilih jalan hidupnya
sendiri, terlebih lagi ketika ia menentukan pasangan hidupnya. Ia mencoba
meruntuhkan stigma tersebut di masyarakat, terutama di lingkungan keluarganya
sendiri.
Sehingga Neng Dara
mengalami konflik batin untuk menyampaikan pemahamannya kepada ayahnya. Hingga
kemudian hal tersebut dapat tersampaikan dan diselesaikan dengan baik. Pada
akhirnya hati ayahnya yang semula keras pun mulai luluh dan paham serta peduli
pendiriannya. Perjuangan Neng Dara Affiah setelah sekian lama pun berhasil
membuka serta merubah cara pandang orangtuanya. Ayahnya yang dulu selalu
memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya menjadi berubah dan lebih
mengupayakan kesetaraan gender. Hal ini terjadi juga karena ayahnya
sudah berkali-kali mengikuti gender training yang dilaksanakan oleh
Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Terakhir pada bab
keempat, Neng Dara Affiah menuliskan tentang identitasnya sebagai anak bangsa. Pada mulanya ia
tidak terpaut dengan negeri ini karena kepemimpinan rezim otoriter Soeharto, ia tidak mempercayai para penguasa. Dia enggan untuk memperhatikan
kebijakan-kebijakan negara yang disampaikan pemerintah, baginya, mereka hanya
para badut yang hanya pintar berslogan, tetapi bukan sebagai pelayan atau wakil
publik yang bisa dipercaya. Hingga seiring dengan kematangan intelektualnya, ia mulai berpartisipasi dalam gerakan
reformasi, gerakan kebebasan pers, serta dalam upaya penundaan pengesahan Undang-undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi, RUU APP (rancangan
undang-undang anti pornoaksi dan pornografi). Dengan berargumentasi bahwa isi RUU tersebut
pasal per pasal isinya tidak sistematis, kekacauan logika, isinya tidak
sensitif gender dan tidak menghargai keragaman budaya yang dimiliki bangsa
Indonesia. Dari sini, ia mencoba menghayati kembali semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’
yang melekat dalam Burung Garuda.
Pada Juni 2006, Neng
Dara Affiah berkesempatan beraudiensi dengan SBY bersama dengan beberapa
temannya melalui organisasi Pucuk Pimpinan Fatayat NU. Ia pun bertanya tentang
kelompok-kelompok yang ingin mengubah ideologi Pancasila dengan Negara Islam. SBY menjawab bahwa tidak ada aturan konstitusi yang mengatur pemerintah
untuk memberi tindakan terhadap kelompok-kelompok tersebut. Disorientasi
berbangsa saat ini agaknya sedang diidap oleh sebagian besar masyarakat
Indonesia. Mereka lebih memilih untuk kuat menonjolkan kedaerahan (etnis) dan
agama. Tulisannya diakhir dengan mengajukan pertanyaan “Apa artinya para
penyelenggara negara memerintahkan kepada rakyatnya untuk setia pada bangsa
ini, sementara negara yang direpresentasikan oleh aparat pemerintahnya tidak
memberikan apa-apa kepada rakyatnya, terutama hak-hak dasar dan utama
menyangkut kebutuhan sandang-pangan, kesehatan, pendidikan dan jaminan akan
keamanan?”.
Komentar
Posting Komentar